Anda boleh setuju atau tidak, tapi bagiku bekerja itu memiliki tiga arti yaitu ibadah, perjalanan hati & batin dan usaha mencari kenikmatan finansial untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja, aku bisa bertemu banyak aktivitas yang diniatkan semata-mata untuk mencapai ridho Allah.
Selain itu, pekerjaan adalah bagaimana kita menemukan ketenangan hati karena dituntut mampu menyelesaikan sesuatu yang menantang sehingga berujung kepuasan batin. Selain itu, bekerja apapun bentuknya (tentu dalam konteks positif-pen) bagi seorang manusia adalah sebuah tindakan ekonomi yang ditujukan untuk tercukupinya kebutuhan finansial baik untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Di luar itu, aku termasuk pribadi yang menikmati pekerjaan sebagai pendidik dan konsultan menulis yang ingin menyebarkan pengetahuan dengan prinsip semangat berbagi. Itulah yang selalu memotivasi hidupku, yaitu semangat berbagi apa saja termasuk berbagi pandangan melalui sarana tulisan kepada orang lain.
Bagiku tak semua perkataan harus disampaikan secara terbuka dengan bahasa lisan, sebab kadang kita harus membiasakan dengan bahasa tulisan. Menulis kemudian menjadi seni terindah bagaimana kita mampu merangkai kata, kalimat dan paragraf untuk mampu diterima orang lain sebagai pembaca tulisan kita. Tak kalah menyenangkan jika pembaca kemudian tergugah hati dan pikirannya selesai membaca tulisanku kemudian semakin bersemangat menjalani kehidupan dengan berfikir dan bertindak positif sehingga kehidupannya berkembang menuju arah yang lebih baik.
Menyoal bekerja, sejak dulu masih aktif sebagai mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi sampai melakoni pekerjaan sebagai pendidik dan konsultan menulis, aku selalu merasa tertantang ketika ditugaskan bekerja ke daerah di seluruh Indonesia. Ketika berkunjung ke sebuah daerah, insting menulis selalu tumbuh dimana aku selalu berusaha menuliskan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Bagiku ini cara mengabadikan kenangan, berbagi pengetahuan dan mencatat semua proses kehidupan yang aku jalankan buat dibaca generasi mendatang kelak.
Dengan menulis kejadian apa yang dialami di sekitar kita, seorang penulis cenderung mampu menuliskan narasi secara bebas, dekat dan akhirnya lebih mudah ditangkap pembaca karena bahasa yang dipakai dalam tulisan cenderung lebih ringan.
Ketika masih berstatus mahasiswa tingkat akhir salah satu kampus di Salemba sekaligus menjadi pekerja di salah satu lembaga negara, aku berusaha menikmati setiap amanah yang diberikan ketika harus mendampingi pimpinan mengunjungi daerah yang ada di Indonesia. Saat itu aku selalu “memelihara” sebuah kebiasaan unik dengan bertanya kepada kawan di daerah tersebut. Sebuah pertanyaan sederhana “Apa media lokal di sini? Aku pengen menulis opini buat media lokal di daerahmu” Ketika dia selesai menjawab media lokal di daerahnya, aku meminta tolong kawan tersebut membelikan media lokal yang beredar di daerah tersebut, kemudian saat malam datang dengan berteman lampu dan laptop aku mulai larut dalam tuts keyboard untuk membuat sebuah tulisan.
Setelah tulisan opini selesai dibuat, kemudian dilakukan pemeriksaan kata-kata yang kurang pas, setelah dirasakan cukup mantap, aku langsung mengirimkan ke media bersangkutan. Hasilnya satu dua hari menjelang pulang dinas dari daerah, aku membawa pulang “oleh-oleh literasi” dimana koran lokal di daerah tersebut berkenan memuat tulisanku di kolom opini.
Semangat berbagi pengetahuan dan membudayakan literasi itu dirasakan hampir lama hilang dari hidupku, sampai sekarang ditemukan kembali ketika ada pekerjaan sebagai pendamping buat para pendidik di bumi Anoa. Aku memutuskan sebuah target agar tiap seminggu sekali mampu berbagi semangat literasi melalui tulisan di media lokal setempat. Sehubungan tugas yang diamanatkan berhubungan dengan edukasi, maka tema tulisanku dikaitkan seputar wacana dan isu strategis berhubungan dengan pendidikan nasional.
Sebuah target yang realistis saja, sebab aku sadar kompetensi menulisku cenderung opini dengan bahasa yang singkat dan agak “berat” dan waktu seminggu sekali dipakai sebagai standar agar isi tulisanku tidak terasa kosong sebab proses menulis itu membutuhkan waktu membaca, mendengar, merasakan, melihat dan menganalisis fenomena yang ada di sekitar kita.
Jadi hari-hari belakangan ini menulis opini di media massa lokal menjadi salah satu aktivitas favoritku ketika menjalani tugas atau pekerjaan kunjungan ke daerah. Sekali lagi, ini cara terbaik mencatat kenangan yang ada agar tidak mudah tergerus ingatan atau pikiran kita sebagai manusia yang mudah dilanda lupa.
Pekerjaan menulis itu harus terus berkembang, dan aku selalu berharap bukan hanya menulis opini melainkan bagaimana kelak aku mampu menuliskan semua kenangan yang ada dalam perjalanan dalam bentuk buku populer dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami pembaca awam.
Sebagai contoh buku travelling dengan bahasa ringan dan dituliskan secara singkat (menulis buku dalam waktu tiga hari-pen) bagus jika kita bersama-sama membaca buku karya Yanuardi Syukur berjudul “Tiga Malam di Larantuka” Ini buku yang inspiratif dengan cerita menarik seputar kenangan di daerah NTT, sebuah buku yang memantik diriku (dan semoga Anda juga ikutan termotivasi setelah membaca buku tersebut-pen) untuk kelak mampu menuliskan buku serupa sebagai rekaman tertulis atas semua perjalanan yang dilakukan selama kehidupan ini.
Inggar Saputra (Penggiat Literasi Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia)
No comment for Tamasya Tulisan: Cara Asyik Menikmati Hidup