Apakah seorang muslim yang menolak ucapkan selamat natal pantas dicap intoleran? Saya kira tidak. Ucapan selamat natal bukan parameter orang memiliki pandangan dan sikap intoleran. Justru, pihak-pihak yang memaksakan setiap orang Islam harus mengucapkan selamat natal, yang demikian lebih pantas disebut sebagai kelompok intoleran. Kenapa? Setiap orang punya keyakinan masing-masing. Kenapa harus memaksakan? Tak cukup memberikan penilaian yang cenderung merendahkan seorang muslim. Di media sosial juga marak sekali olok-olokan bagi mereka yang tidak mau mengucapkan selamat natal atau mereka yang mengharamkan ucapan selamat natal.
Sayangnya, olok-olok itu bukan datang dari kalangan nonislam, tapi justru dari kalangan orang Islam sendiri. Menyedihkan. Setidaknya ada beberapa contoh yang saya temui. Sebuah poster sarkastik bilang begini “Kalau bagimu hanya dengan ucapan selamat natal bisa auto murtad, mendadak Kristen tanpa baptis, lu pikir umat Kristen mau punya umat kayak lu? Ada lagi yang bunyinya begini, “Ngotot mengharamkan ucapan selamat Natal tapi kok ikut libur di hari natal.”
Di lain kasus, seorang pedagang kue juga diolok-olok di media sosial karena tidak mau mencantumkan tulisan selamat natal bagi calon pembelinya. Lantas, bagaimana kita memaknainya? Saya tentu tidak akan terlibat debat tentang persoalan ucapan natal ini, ranah agama, ranah teologis bukan wilayah saya. Tapi saya kira, di kalangan umat Islam sendiri juga beragam, ada yang mengharamkannya, ada yang membolehkannya. Tapi khusus untuk ikut perayaan natal, mayoritas ulama mengharamkannya. Ini juga bentuk keragaman yang tak perlu terus diperdebatkan. Biarkan masing-masing punya keyakinan sendiri. Yang menjadi problem sekarang ini, banyak sekali olok-olokkan dari kalangan muslim kepada muslim lain yang menolak mengucapkan selamat natal.
Banyak yang menilainya sebagai pemikiran yang sempit. Alih-alih memberikan stigma buruk, saya kira justru olok-olokkan semacam itu adalah bentuk intoleransi tersendiri. Sayangnya, mereka yang mengklaim sebagai orang yang berpikiran luas itu tak menyadari kebodohannya. Seorang mualaf, Koh Steven Indra Wibowo (Alm) yang dikenal salah satu penggerak event Hijrahfest pernah mengatakan bahwa orang yang ikut perayaan agama lain itu dipandang seperti jongos, dianggap sebagai orang rendahan. Nah, akankah kita ikut-ikutan arus ini? Semoga tidak.
Dalam studi media, kita bisa membaca fenomena ini untuk menemukan kenyataan yang sebenarnya. Salah satunya dengan bantuan analisis semiotika untuk membedahnya. Kali ini saya akan membedahnya dengan bantuan analisis semiotika sosial untuk bisa membongkar praktik wacana serta bisa memaknai isu yang sedang berkembang. Di antaranya dengan menyorotinya melalui hal berikut:
Pertama, medan wacana (field of discourse) yaitu mengenai apa yang dijadikan wacana oleh pelaku (media maupun media sosial). Dari bacaan ini, kita akan mengetahui bagaimana arogansi ditunjukkan oleh mereka yang melakukan olok-olok muslim para penolak ucapan natal. Memandangnya sebagai kelompok intoleran, kadrun dsb seolah-olah dengan bersikap demikian para pengolok itu akan dipandang sebagai sosok toleran, pluralis, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah kekonyolan. Banyak logika yang mudah sekali kita patahkan. Bahkan, sebenarny,a mereka sendirilah yang sebenarnya tidak toleran dengan keyakinan orang lain.
Kedua, pelibat wacana (tenor of discourse), terkait dengan pelaku atau orang-orang yang terlibat dengan wacana demikian. Kalau kita cermati, khususnya di media sosial, kita akan mendapati bahwa yang melakukan demikian orangnya itu-itu saja, dari kelompok JIL, Utan Kayu, Salihara, Gusdurian, Setara Institute, barisan Abu Janda dan Denny Siregar, PSI, juga individu-individu yang dikenal dengan pemikiran liberal dan sekulernya. Kelompok inilah yang berlagak toleran tapi sebenarnya sangat tidak toleran dengan mereka yang berseberangan pandangan. Kelompok penyampah digital yang terus memperlihatkan kedunguan cara pandang.
Ketiga, sarana wacana (mode of discourse), tentang bagaimana komunikator menggunakan gaya bahasa. Yang saya cermati, di media sosial, kata-kata untuk mencemooh dan mengolok-olok banyak sekali yang begitu kasar dan vulgar. Hal ini banyak kita temui di twitter. Tapi khusus di media online, contohnya misalnya di situs Islamlib cenderung dikemas dengan bahasa yang ilmiah, tapi tetap saja mudah dibantah. Yang agak berbeda ditunjukkan oleh media baru, yang menyebut dirinya media satir tapi lebih tepatnya media nyinyir. Saya tak akan menyebut medianya. Tapi isinya, yang penting mengolok-olok FPI, Felix Shiauw, MUI, PKS, nah, tulisan bisa masuk ke media itu.
Jadi, kesimpulan saya, mereka yang suka memojokkan Islam atau orang Islam sangat mudah dikenali. Orang-orangnya itu-itu saja. Jadi, saya kira perkara toleransi, seharusnya memang tak perlu terus diperdebatkan. Tapi diimplementasikan dalam laku keseharian. Inilah saya kira hakikat toleransi sebenarnya, bagaimana kita menghargai dan merayakan perbedaan, bukan dengan sekadar ucapan yang dipaksakan tapi dengan laku keseharian.
(Yons Achmad. Pengamat Komunikasi. CEO Komunikasyik.com)
Ulama besar, Yusuf Al-Qardhawi dalam “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, menukil pernyataan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara... Read More
Pesan Kultural Lebaran Oleh: Yons Achmad (Pengamat Komunikasi. Pendiri Komunikasyik.com) Perspektif seorang muslim, biasanya memandang idul fitri sebagai momentum untuk mengembalikan fitrah manusia yang... Read More
Ulama besar, Yusuf Al-Qardhawi dalam “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, menukil pernyataan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara... Read More
Kesadaran Profetik Kenaikan Harga BBM Oleh: Yons Achmad (Kolumnis, tinggal di Depok) Hanya dengan kesadaran profetik, kita akan lebih obyektif memandang problem kenaikan harga... Read More
“Ayah, kayaknya sudah cukup dech baca dan beli buku-buku kiri,” kata istri saya suatu senja. “Kamu kutap kutip terus ucapan Pramoedya Ananta Toer yang... Read More