Sejak 2002, UNESCO menetapkan hari Kamis ketiga bulan November sebagai Hari Filsafat Sedunia (World Philosophy Day). Tahun ini, hari tersebut bertepatan dengan tanggal 17 November.
Tema Hari Filsafat Sedunia tahun ini adalah “The Human of the Future” (“Manusia Masa Depan”). Pokok soal yang diangkat dengan tema itu adalah: di tengah dunia yang dipenuhi oleh berbagai perkembangan teknologi, mulai dari proyek kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) hingga rekayasa genetika, siapa sebenarnya yang kita sebut “manusia”?
Mengaburkan kemanusiaan
Proyek kecerdasan buatan dan rekayasa genetika merupakan dua proyek ambisius yang dapat mengaburkan batas -batas kemanusiaan kita.
Berdasarkan laporan yang dibuat para peneliti di Stanford University tahun lalu, dalam lima tahun terakhir ini, proyek AI sudah melakukan kemajuan luar biasa hampir dalam semua aspek yang menjadi standar kecerdasan manusia.
Mulai dari daya penglihatan, kemampuan mengenali dan mengeluarkan tuturan, pemrosesan bahasa alamiah (baik untuk memahami atau memunculkannya), penciptaan gambar dan video, sistem multi-agen, perencanaan, hingga pembuatan keputusan (“Gathering Strength, Gathering Storms: The One Hundred Year Study on Artificial Intelligence (AI100) 2021 Study Panel Report”).
Meski para filsuf masih berdebat apakah satu sistem yang mampu melakukan semua hal yang bisa dilakukan oleh manusia itu memiliki kesadaran atau tidak, para teknisi dan ilmuwan sendiri tampaknya tak begitu peduli dengan perdebatan itu. Bagi mereka, tak penting apakah sistem itu memiliki kesadaran atau tidak, yang penting ia dapat bertindak dan berperilaku seperti halnya manusia.
Kita juga tidak benar-benar tahu apakah orang lain yang ada di depan kita itu benar-benar punya kesadaran atau tidak. Cuma karena dia dapat merespons secara tepat apa yang kita lakukan, kita lalu membentuk keyakinan bahwa dia sadar. Hal itu kini juga dapat dilakukan oleh robot yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan, sehingga antara menghadapi robot dan manusia kini sudah nyaris tidak terbedakan—kecuali hanya pada aspek tubuh biologisnya.
Namun, dengan perkembangan teknologi mutakhir, tak mustahil suatu saat nanti ada robot yang memiliki bentuk sama persis dengan tubuh biologis manusia. Jika era itu sudah datang, kita akan dibingungkan oleh pertanyaan: “apakah robot seperti itu bisa disebut manusia?”. Jawaban untuk pertanyaan ini memiliki banyak konsekuensi, mulai dari soal politik, moral, hingga HAM.
Dalam ranah rekayasa genetika, perkembangan mutakhir yang dilaporkan terjadi pada awal tahun ini. Akhir Maret lalu, para peneliti lintas negara yang berkolaborasi di Konsorsium Pengurutan Genom Manusia dilaporkan telah berhasil sepenuhnya memetakan dan mengurutkan genom manusia.
Keberhasilan ini membuka jalan lebar bagi proyek penyuntingan genom untuk menciptakan manusia-manusia super yang dapat mengatasi segala keterbatasan manusia biasa selama ini. (Djoko Santoso, Kompas, 20/4/2022).
Proyek penyuntingan genom, sama seperti proyek kecerdasan buatan, juga akan mengaburkan batas-batas kemanusiaan kita. Agama dan juga ajaran kebijaksanaan sering memberi tahu kita bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Ia bisa sakit, tidak mengetahui segala hal, dan kemudian mati. Namun, jika penyuntingan genom untuk menciptakan manusia super itu berhasil, sebagian keterbatasan yang menjadi ciri khas kemanusiaan kita hanya akan menjadi cerita dari masa lalu.
Dalam konteks itulah, pokok soal yang diangkat oleh UNESCO penting direnungkan oleh filsafat bersama dengan berbagai disiplin ilmu yang lain: “siapa yang disebut manusia di masa depan?”.
Tugas normatif filsafat
Dalam konteks ini, selain tugas analisis-deskriptif atas kemanusiaan kita, filsafat juga memiliki tugas normatif. Artinya, selain menjawab pertanyaan “siapakah manusia di masa depan?”, filsafat juga perlu memberikan pandangan normatif tentang apa yang sebaiknya dilakukan terkait kemanusiaan kita yang terus mengalami pengaburan ini.
Oleh karena itu, kajian etika terkait dua proyek tadi perlu kian diintensifkan. Terkait AI, filsafat perlu mengintensifkan kajian di bidang etika kecerdasan buatan (ethics of AI). Sedang- kan terkait rekayasa genetika, filsafat perlu mengintensifkan kajian di bidang bioetika.
Pengembangan kajian dalam etika kecerdasan buatan dan bioetika itu tentu tidak bisa dilakukan sendirian oleh filsafat. Filsafat perlu bekerja secara kolaboratif dengan disiplin-disiplin ilmu lain.
Dalam etika kecerdasan buatan, misalnya, filsafat perlu bekerja sama dengan bidang psikologi, ilmu komputer, ilmu kognitif, dan antropologi. Sedangkan dalam bioetika, filsafat perlu bekerja sama dengan kedokteran, biologi, antropologi, dan sosiologi.
Melalui kerja sama lintas-disiplin itu, filsafat diharapkan dapat melakukan tugas normatifnya berdasarkan pada deskripsi akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kemanusiaan kita.
Dengan demikian, apa yang dilakukan filsafat bukan lagi spekulasi murni, melainkan spekulasi berbasis data ilmiah. Itulah gambaran dari apa yang disebut naturalisme filosofis: bahwa filsafat tidak independen dari ilmu tetapi merupakan kelanjutan dari ilmu.
Mari berfilsafat dengan disertai ilmu.
Siti Murtiningsih Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (Sumber/Kompas.com/16 Desember 2022).
No comment for Filsafat dan Ambang Batas Kemanusiaan