“Ayah, kayaknya sudah cukup dech baca dan beli buku-buku kiri,” kata istri saya suatu senja. “Kamu kutap kutip terus ucapan Pramoedya Ananta Toer yang orang PKI, memangnya nggak ada ucapan baik selain dia bidang kepenulisan?” Ya, betul juga. Pada salah satu buku saya, “Menjadi Penulis Kreatif” ada kutipan Pram yang bunyinya “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi kalau tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Baiklah. Sarannya boleh juga. Memang, dalam soal referensi, saya terbuka dengan beragam sumber, pemikiran dan tokoh. Prinsip saya, kalau ucapan baik dan masuk akal, ke luar dari mulut siapapun, saya terbuka untuk menerimanya sebagai salah satu sumber kebenaran. Hanya saja, sekarang saya sudah punya tiga anak yang mulai tumbuh besar. Istri khawatir ada fikroh (pemikiran) kiri yang nyelip spontan tanpa sengaja dan merusak alam pikiran anak-anak.
Dipikir-pikir. Rasanya, memang sudah saatnya hijrah buku, hijrah pemikiran. Hijrah sendiri berasal dari kata hajrun yang berarti tarkun (meninggalkan). Hijrah juga punya makna spiritual. Di dalam sebuah hadist shahih disebutkan bahwa muhajir adalah orang yang meninggalkan keburukan. Makna spiritual hijrah adalah meninggalkan jahiliyah menuju Islam. Syirik menuju tauhid, maksiat menuju taat, batil menuju haq dan meninggalkan yang haram menuju halal. Maka, hijrah buku, hijrah pemikiran, berarti sejalan dengan makna demikian.
Hijrah buku yang saya maksud di sini, tidak melulu meninggalkan buku-buku (kiri). Tapi, lebih kepada perubahan orientasi. Jika sekian lama saya lebih banyak menggunakan buku-buku kiri sebagai referensi, basis argumentasi, kini harusnya lebih banyak menjadikannya sebagai bahan kritik. Ya, saya akan lebih banyak melakukan kritik atas pemikiran-pemikiran yang kurang pas dalam kapasitas diri sebagai seorang pemikir muslim.
Sementara, tentu saya akan lebih banyak dan lebih banyak lagi membaca. Memprioritaskan bacaan-bacaan yang punya khazanah pemikiran Islam dan peradaban. Buku-buku yang sedikit saya punya, sedikit pula saya menyentuh dan membacanya. Terbatas pula saya jadikan referensi dalam kepenulisan kreatif.
Maka, izinkan saya berbenah dan berubah. Ke depan, sebagai seorang kolumnis, penulis, saya akan mengurangi referensi “kiri” dan “sekuler”. Izinkan saya menyelami khazanah pemikiran Islam dan peradaban. Doa sederhana, semoga juga diberi panjang umur. Agar bisa sedikit punya berkontribusi di sisa-sisa usia. Membedah beragam fenomena dengan sorotan khazanah pemikiran Islam yang lurus.
Seperti dalam Islam, sejauh apapun petualangan pemikiran, wahyu tetap menjadi obornya. Di sinilah saya datang kembali. Seperti sebuah kenyataan, banyak pemikir muslim telah banyak dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak yang bahkan ragu-ragu akan kebenaran wahyu Al-Quran. Akibatnya, terombang-ambing dalam petualangan pemikiran yang tak karuan. Pemikir muslim, pada akhirnya kehilangan identitas (lost of identity) akan keIslamannya.
Itu sebabnya, kolom ini sebenarnya sebagai monolog atau pengingat diri semata. Bahwa, ada satu masa di mana seseorang mencoba mengubah haluan cara pandang. Siapa tahu, dengan hijrah buku, hijrah pemikiran, bisa mengubah laku dan perbuatan. Harapannya, hidup bisa menjadi lebih bermutu, bermakna dan bisa mencerahkan dunia. Semoga. []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok)
No comment for Hijrah Buku, Hijrah Pemikiran