HOME
Home » Opini » Ibu dalam Pandangan Penyair

Ibu dalam Pandangan Penyair

Posted at Desember 20th, 2022 | Categorised in Opini

Sosok ibu menjadi obsesi yang menarik bagi para penyair. Dari banyak puisi yang memuja ibu sebagai kekuatan spiritual, saya memilih enam yang memiliki tafsir kuat dan populer di tengah masyarakat patriarki.

Beberapa penyair sangat intens dalam mencari diksi, mengembangkan imaji, dan menemukan metafora untuk memberi makna peran ibu. Saya tertarik kepada enam penyair yang memuliakan kesaksian spiritualitas ibu dan mereka mempertaruhkan ketajaman intuisi untuk menyingkap kegigihan distribusi otoritas sosial kaum perempuan di dalamnya.

Keenam penyair tersebut adalah Walujati (Suara Ibu), Asrul Sani (Surat dari Ibu), Hartoyo Andangjaya (Ibu), D Zawawi Imron (Ibu), Isma Sawitri (Hati Bunda), dan Medy Loekito (Ibu). Spiritualitas menjadi obsesi para penyair untuk menyingkap pengabdian ibu dalam membentuk karakter, menanggung duka kehidupan, dan memberi arah kedewasaan bagi anak-anak. Ibu tak sekadar mengandung, melahirkan, dan menyusui, tetapi juga menciptakan kenangan, keindahan, dan harapan.

Ketajaman keenam penyair tersebut memanfaatkan sudut pandang yang berbeda-beda dalam memaknai sosok ibu, dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi. Berkembanglah kompleksitas tafsir puisi, yang masing-masing penyair memiliki lapis-lapis maknanya sendiri. Saya terkesima dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi untuk mencipta kedalaman batin dan berkembanglah cita rasa estetika yang memberi pengalaman spiritual pembaca mengenai ibu.

Sosok spritualitas ibu

Dalam puisi Suara Ibu karya Walujati, ibu merupakan sosok pribadi yang memberi bingkai kosmologi, perlindungan batin, dan kenangan indah pada anak. Anak yang mengembara, meninggalkan orangtua, dan segala kekacauan pikiran mencapai keselarasan jiwa di hadapan ibu: Ibu, kuingat, kau duduk merinai/ Merindukan aku dengan lagu merayu/ Tenanglah hatiku mendengar suaramu/ Pikiran kacau, heninglah sudah// Angin desir, kalbuku mendengar/ Ibuku menyanyi, suara gemetar/ Menyanyi sayup…Oh angin, tiuplah,/ Keringkanlah angin, mataku yang basah//.

Pengembaraan anak yang meninggalkan tanah kelahiran, memandang sosok ibu sebagai cahaya yang menerangi hatinya. Puisi Surat dari Ibu ditulis Asrul Sani untuk memperlihatkan betapa seorang ibu menjadi pedoman bagi kehidupan anak. Sosok ibu menjadi pendidik yang mematangkan jiwa seorang anak. Sosok ibu mempertautkan jiwa anak kepada akar spiritualitas yang membentuk ketangguhan jiwanya.

Seorang anak akan kembali pada ibu, seperti dalam petikan berikut ini: Pergi ke laut lepas, anakku sayang/ pergi ke alam bebas!/ Selama hari belum petang/ dan warna senja belum kemerah-merahan/ menutup pintu waktu lampau// Jika bayang telah pudar/ dan elang laut pulang ke sarang/ angin bertiup ke benua/ Tiang-tiang akan kering sendiri/ dan nahkoda sudah tahu pedoman/ boleh engkau datang padaku//.

Kesakralan seorang ibu diungkapkan Hartoyo Andangjaya dalam puisi Ibu. Dalam puisi ini sosok ibu dipandang sebagai keindahan yang penuh makna. Sosok ibu merupakan penerang jalan hidup anak, memberikan kenangan akan keindahan, alam semesta, dan lingkungan yang mulia.

Sosok ibu memberikan makna kesucian, kasih sayang sebagaimana seorang pangeran, seperti berikut ini: Pangeran kecil yang diasuh dalam lingkungannya/ ialah engkau, yang bernyanyi-nyanyi dalam taman-tamannya/ bermain tangkap dengan lindap cahaya surya/ bicara dengan bunga-bunga/ burung-burung dan mega-mega// sementara kuntum putih yang mekar di sana/ bernama kasih, memandang padamu dan tertawa//.

Kenangan D Zawawi Imran tentang ibu bergelimang penderitaan, kesedihan, saat ditinggal anak merantau. Seorang anak mengenang pengorbanan ibu, kenakalan masa lalu, dengan penuh kerinduan. Ibu merupakan tempat anak membangkitkan spiritualitas, ibu memberi kasih sayang yang transenden di muka bumi, tanpa disadari anak.

Seorang anak akan selalu mengenang ibu sebagai seorang pahlawan, seperti dalam larik-larik puisi ini: ibu adalah gua pertapaanku/ dan ibulah yang meletakkan aku di sini/ saat bunga kembang menyerbak bau sayang/ ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi/ aku mengangguk meskipun kurang mengerti// …kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan/ namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu/ lantaran aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu//.

Dalam pandangan Isma Sawitri, sosok ibu diletakkan dalam keagungan ideologi patriarki. Ia melihat kemegahan budaya yang diwariskan kaum tiran, seniman, dan kaum kapitalis yang mengerdilkan hati setiap ibu. Selalu saja sosok ibu digambarkan tak berdaya, terkucilkan dari kemegahan kekuasaan patriarki, dan tetap menjalani hidup dengan ketulusan kasih sayang, watak yang memaafkan, dan penuh dengan kedalaman rasa.

Spiritualitas ibu diletakkan dalam keangkuhan budaya yang didominasi kaum laki-laki dalam puisi ”Hati Bunda” berikut ini: inilah permukaan dunia kini, dunia abad keduapuluh/ dimegahkan dengan pyramid, Menara eifel, pencakar langit/ warisan para tyran, seniman dan raja uang/ inilah kemegahan manusiawi yang hanya bisa tetap megah/ bila atasnya dilimpahkan pemenuhan segala titah//.

Spiritualitas menjadi roh penciptaan puisi Ibu karya Medy Loekito. Dalam puisi ini, Medy Loekito menuturkan cinta kasih ibu dalam rutinitas keseharian. Ibu senantiasa menahan derita, luka-luka hati, dan kesedihan. Ibu senantiasa meredam luka jiwa anak-anaknya menjadi jalinan cinta dalam kehidupan keseharian, seperti dalam larik-larik berikut ini: petang hari setelah perlawatan/ kau sisir luka-luka dari baju kami/ lalu lelaplah mata dalam tidur/ sementara kau rajut jalinan cinta/ untuk kau tuang esok/ ke dalam cangkir-cangkir kami//.

Perenungan transenden

Keenam penyair yang berobsesi kepada sosok spiritualitas ibu dalam perkembangan puisi Indonesia ini memberi arah pencapaian perenungan transenden. Mereka mengangkat spiritualitas ibu dalam kenangan masa kecil, jati diri, ketangguhan, pemaafan, dan korban keperkasaan budaya patriarki. Ibu senantiasa bertahan dari segala luka jiwa dan penderitaan, untuk membangkitkan ketangguhan jiwa anak-anaknya.

Saya tertarik membicarakan dua puisi. Pertama puisi Surat dari Ibu karya Asrul Sani. Kedua, puisi Isma Sawitri, Hati Bunda. Cara pandang Asrul Sani terhadap sosok ibu menjadi menonjol karena meletakkan kematangan jiwa petualang anak-anaknya. Kearifan jiwa anak-anak tumbuh setelah merantau, menempuh kehidupan luas, lebih tangguh. Jiwa petualang seorang anak lelaki ditempa dengan ketulusan hati ibu. Seorang anak yang memahami pedoman hidup, setelah melakukan perantauan, justru memperoleh ketangguhan jiwa karena peran ibu.

Saya melihat penyair ini memberi tempat terhormat ibu bukan atas peran reproduksi: mengandung, melahirkan, dan menyusui. Akan tetapi, dalam puisi ini ibu dipandang telah meletakkan institusionalisasi nilai kepada anak untuk membentuk dialektika budaya.

Hal yang lebih menarik lagi tentu puisi Isma Sawitri yang meletakkan pandangan ibu dari ketangguhan budaya patriarki. Seorang ibu tetap memancarkan spiritualitas kepada anak-anaknya dalam genggaman superiotas kekuasaan dan kapitalisme yang digenggam kaum lelaki. Ia menyuarakan ideologi pembebasan ibu yang selama ini dipuja keagungannya karena perlindungan terhadap anak-anak.

Penyair menyibak suara otoritatif budaya yang didominasi kaum laki-laki. Ia tak sekadar memandang ibu sebagai sebuah kenangan, keindahan, dan perlindungan jiwa. Akan tetapi, lebih dari itu, ia meyakini kemungkinan ibu dalam membebaskan diri dari ketidaksetaraan distribusi otoritas budaya phallocentric yang berpusat kepada laki-laki.

S Prasetyo UtomoSastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang (Sumber harian Kompas/1/Desember 2022)

Tags :

No comment for Ibu dalam Pandangan Penyair

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *