AWAL Desember 2022 ini, kita kembali dikagetkan dengan aksi teror pengeboman salah satu markas polisi sektor (Mapolsek) Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu pagi (07/12/2022). Selain terduga pelaku (Agus Muslim/Agus Sijatno), salah satu korban yang meninggal adalah Aipda Agus Sofyan. Aipda Agus merupakan orangtua dari Alfahri, salah seorang santri di Pondok Pesantren Persis 1 Pejagalan, Kota Bandung. Selain itu, 9 anggota polisi juga menjadi korban luka dan berdarah akibat pengeboman yang sangat keji dan biadab kali ini.
Bukan saja soal berapa nyawa melayang yang membuat kita resah, tapi juga efek negatif aksi semacam itu. Untuk itu, kelompok terduga pelaku atau mereka yang memiliki kesamaan ideologi dan perjuangan dengan terduga pelaku mesti dikejar dan mesti mengikuti proses deradialisasi secara berjenjang. Menurut Kapolri Listyo Sigit Prabowo aksi teror ini dilakukan oleh sosok yang berstatus masih merah dalam program deradikalisasi. Terduga pernah ditangkap saat peristiwa bom di Cicendo, Kota Bandung pada 2017 silam dan menjalani masa tahanan di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia dihukum empat tahun dan pada September 2021 lalu ia dinyatakan bebas. Sosok ini terindentifikasi berafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharu Daulah (JAD).
Kalau kita menyimak teori negara, mulai dari yang paling klasik sampai teori negara paling modern, tampak jelas bahwa salah satu tugas negara yang paling esensial adalah menyediakan rasa aman bagi warganya (Arief Budiman, 2006). Sebagai sebuah bentuk political goods, rasa aman tentulah dapat dijadikan parameter atau indikator keberhasilan suatu negara. Menghindarkan masyarakat dari situasi homo homini lupus merupakan fungsi utama negara dalam pemahaman teori-teori negara klasik (Ichlasul Amal, 2010).
Dalam pemahaman ini, ancaman terhadap keamanan diandaikan bersumber dari dalam masyarakat sendiri. Karenanya, pengalihan sebagian kebebasan individu disepakati baik sebagai cara untuk menghindarkan situasi homo homini lupus maupun untuk merepresi situasi semacam sehingga situasi damai bisa dikembalikan. Sudut pandang ini nantinya berkembang menjadi: a) fungsi keamanan dalam negeri yang antara lain dijalankan oleh aparat justisia, terutama polisi; b) rujukan bagi perumusan lebih lanjut mengenai fungsi-fungsi kepolisian yang mencakup fungsi perlindungan, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.
Dengan asumsi teoretik tersebut, peran negara dalam menjamin rasa aman warga negara menjadi demikian vital dan sentral. Karena itu, beragam peristiwa yang melahirkan ketidakamanan seperti halnya aksi-aksi teror dalam bentuk peledakan bom yang terjadi cukup massif di Indonesia, termasuk yang baru saja terjadi, tentu perlu mendapat perhatian tersendiri. Bukan saja dari masyarakat luas yang berharap atas terpenuhinya rasa aman sebagai salah satu public goods yang ingin dinikmatinya, namun terutama harus menjadi perhatian serius pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) untuk memastikan penanggulangannya secara cermat dan tepat.
Dalam konteks melawan aksi teror dan dalam rangka memutus mata rantai terorisme, agenda strategis berikut dapat ditempuh, pertama, reformasi sektor keamanan. Dalam menangani aksi-aksi teroris yang terjadi, pemerintah tampaknya lebih banyak mengedepankan pendekatan keamanan secara parsial. Ini setidaknya dapat disimak dari upaya-upaya yang lebih mengedepankan program anti-terorisme secara represif. Padahal, pendekatan paling mutakhir semestinya justru lebih banyak mengedepankan pendekatan counter terrorisme yang lebih bersifat preventif ketimbang cara-cara anti-terorisme yang represif. Tak heran jika dalam penanganan terorisme yang justru tampak dominan adalah aparat kepolisian (Polri) dan tentara (TNI), sementara institusi intelijen (BIN) nyaris tak tampak fungsinya. Kalau pun institusi intelijen terlibat, perannya nyaris sulit dibedakan dengan aparat kepolisian dan tentara.
Kedua, pembenahan regulasi keamanan. Regulasi keamanan sejatinya merupakan bagian integral dari upaya yang harus dilakukan dalam security sector reform. Namun ini perlu mendapat perhatian tersendiri karena memiliki tingkat kepelikan dan problematika tersendiri. Studi Propatria menunjukkan bahwa hingga kini produk legislasi dalam bidang pertahanan dan keamanan masih memiliki sejumlah kelemahan (Working Group on Security Sector Reform, 2006). Kita berharap agar ke depan BIN diberi wewenang untuk melakukan penahanan bagi siapapun yang dicurigai kuat sebagai bagian dari komplotan atau yang akan melakukan aksi teror.
Ketiga, reorientasi pendidikan. Pendidikan seringkali menjadi sarana paling mujarab untuk melakukan rekayasa sosial atau bahkan invasi kultural untuk tujuan tertentu. Dalam hubungan ini, lahirnya teologi jihadis yang melahirkan insan-insan teroris boleh jadi berpangkal dari produk pendidikan yang salah. Dalam konteks Indonesia yang plural, sudah selayaknya kita memikirkan model pendidikan universal. Sebagai bagian integral dari upaya untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme di tanah air, aktifitas pendidikan semestinya diorientasikan pada upaya untuk melahirkan kesadaran kritis sehingga mendorong anggota masyarakat untuk dapat berpikir logis dan analitis, seraya tidak terjebak pada pola pikir dan perilaku kriminalis alias teroris yang membahayakan.
Keempat, kempanye sosial-kultural secara massif. Kesadaran untuk melawan terorisme memang harus menjadi pemahaman dan keinsyafan semua pihak. Sederhananya, meskipun sejatinya persoalan keamanan merupakan domainnya pemerintah, masyarakat juga perlu melibatkan diri secara proaktif dan bahkan turut melakukan kontrol secara konstruktif, terutama dalam soal jihad suci melawan terorisme.
Beberapa agenda di atas boleh jadi bukan sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian program yang telah dan sedang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun demikianmenurut Sofian Munawar Asgart (2014)point terpenting dari upaya untuk memutus mata rantai terorisme adalah dengan memperkuat dan mempererat rantai keinsyafan bersama baik di level struktural maupun di ranah societal untuk menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Di samping itu tentu perlunya penegasan hukuman bagi mereka yang terlibat dalam barisan teroris. Tak hanya penjara, tapi bila memungkinkan para pelaku dan komplotannya dihukum mati.
Selain itu, penting juga untuk membangun kesadaran bahwa untuk memutus mata rantai terorisme tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan (security approach) semata. Pendekatan ini perlu dikomplementasikan dengan dimensi human security secara lebih luas. Ini disadari karena teror seringkali bersumber tidak dari aspek yang tunggal, tapi bersumber dari multi aspek, termasuk ketidakadilan yang di dalamnya termuat beragam dimensi kemanusiaan secara simultan. Oleh karena itu, pendekatan human security penting dipromosikan dalam membangun security sector reform sebagai salah satu paradigma baru untuk menyusun strategi penangnan terorisme yang acap kali mengejawantah dalam banyak wajah. Ya, mari merawat Indonesia dengan berjihad melawan para teroris dungu dan senonoh itu! (*)
Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
Mengapa Rasulullah Saw dikatakan sebagai pemimpin terhebat di dunia? Karena Rasulullah selain memimpin juga mendidik. Rasulullah memimpin perubahan bangsa Arab dari kebodohan kepada keilmuan.... Read More
Hai bro, sahabat santri semuanya. Terkhusus santri-santri Pondok Pesantren Tegal Luhur, Sentul, Jawa Barat. Gimana belajarnya? Masih semangat kan? Jangan luntur ya. Stay dijaga.... Read More
Sosok ibu menjadi obsesi yang menarik bagi para penyair. Dari banyak puisi yang memuja ibu sebagai kekuatan spiritual, saya memilih enam yang memiliki tafsir... Read More
Sejak 2002, UNESCO menetapkan hari Kamis ketiga bulan November sebagai Hari Filsafat Sedunia (World Philosophy Day). Tahun ini, hari tersebut bertepatan dengan tanggal 17... Read More
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia) SENIN (21/11/2022), siang, kami sedang mengadakan rapat di Kantor Pusat Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jalan Kramat... Read More