HOME
Home » Resensi » Kartosuwiryo: Pejuang Islam yang Terlupakan

Kartosuwiryo: Pejuang Islam yang Terlupakan

Posted at November 25th, 2021 | Categorised in Resensi

Saat masih sekolah,  guru sejarah saya selalu menampilan sosok Kartosuwiryo sebagai pemberontak dan pengkhianat NKRI. Tapi, tidak demikian dalam gambaran seorang penulis, Haris Priyatna yang menggambarkannya dalam perspektif yang berbeda.  Sejak SMA saya begitu penasaran tentang sosok yang satu itu.  Sayang, tak banyak buku yang bisa saya temukan dan berhasil saya baca untuk mengenali lebih jauh kiprahnya. Sekian tahun kemudian, sebuah novel berjudul  “Seteru Satu Guru” menggambarkan sosoknya secara berbeda.

Oleh penulisnya, Kartosuwiryo digambarkan sebagai sosok yang tegas, punya prinsip dan berani. Seperti contoh pada saat sidang pertama KNIP. Dia menolak perundingan Linggarjati. Katanya “Perundingan Linggarjati akan mendatangkan kerugian teramat besar bagi kita, bangsa Indonesia. Wilayah kita akan menciut menjadi hanya Sumatera, Jawa dan Madura. Ini tidak sesuai cita-cita proklamasi. Lagi pula, perjanjian itu akan melenyapkan kemerdekaan. Tak mustahil Indonesia akan menjadi negara boneka”.

Atas penolakan itu,  gerombolan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mendekati Kartosuwiryo dan menggertaknya “Ini Jawa Timur, Bung! Kami yang berkuasa di sini. Jangan macam-macam. Dukung saja Linggarjati kalau ingin selamat”. Tak mempan digertak, Kartosuwiryo kontan memanggil Hizbullah, yang dengan sigap mengokang senjata mereka.

Bung Tomo yang kebetulan lewat melihat gelagat buruk itu. “Jangan, Bung ! Kita ini bersaudara, sama-sama berjuang untuk Indonesia”. Bung Tomo berusaha meredam amarah Kartosuwiryo. Lalu dia beralih ke para pemuda Pesindo dan menghalau mereka pergi.

Tak beda dengan pemuda Sosialis, Partai Sosialis juga pernah menawari jabatan untuk Kartosuwiryo. Itu terjadi saat terjadi kekosongan kekuasaan pasca jatuhnya kabinet Syahrir.  Amir Syarifuddin dari Partai Sosialis yang mendapat mandat dari presiden untuk membentuk kabinet begitu kesulitan mencapai kata sepakat dengan Masyumi. Utusanpun dikirim untuk membujuk Kartosuwiryo agar mau menerima jabatan. Tapi ditolaknya. Asistennya sempat bertanya kepada Kartosuwiryo “Apa Bapak tidak sayang dengan jabatan yang ditinggalkan?” Kartosuwiryo menjawab tegas “Tidak, tujuan hidupku bukan itu, Aku ingin berjuang dengan cara yang benar”. Begitulah, di suatu tempat, Kartosuwiryo mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.

Di Malangbong, Kartosuwiryo menekuni dunia kepenulisan. Dia mendirikan Institut Suffah: Sebuah pesantren yang mengajarkan agama, politik dan kemiliteran. Muridnya datang dari berbagai daerah bahkan dari  luar Jawa. Mereka itulah yang kemudian sebagian besar menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.

Di tempat itu. Kartosuwiryo masih tak habis pikir mengapa harus ada Perjanjian Renville. Katanya “Amir Syarifuddin telah berbuat khianat. Dia tega menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik. Dia ingin Umat Islam dan rakyat Jawa Barat tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda”.

Atas kekecewaan itu Kartosuwiryo berpidato yang sebagian isinya “Banteng Indonesia yang gagah perkasa, karena kalah silat melawan Singa Belanda, terpaksa diikat lehernya sekalipun memakai rantai emas”. Di Akhir pidato dihasilkan keputusan membentuk pemerintahan daerah  di Jawa barat dan melebur seluruh Laskar Islam ke dalam TII (Tentara Islam Indonesia) dengan markas besar di Gunung Cupu.

Penulis kemudian membawa kita bernostalgia pada saat ketiga tokoh (Soekarno, Musso, Kartosuwiryo) indekos di kediaman HOS Tjokroaminoto. Digambarkan bagaimana pemikiran Tjokroaminoto yang menurut saya menarik. Diantaranya, ajaran tentang fondasi Islam dalam bidang sosial, yaitu Vrijheid, Gelijkheid, Broederschap (Kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan). Pemandangan lain, di kos itu digambarkan bagaimana ketekunan Kartosuwiryo membaca buku, sementara Soekarno sibuk menggoda perempuan, khususnya noni-noni Belanda.

Di bab lain, Kartosuwiryo digambarkan sebagai penulis dan wartawan.  Dia pernah menjadi redaktur surat kabar Fadjar Asia, corong baru Sarekat Islam. Fadjar Asia ini menjadi kelanjutan surat kabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta dan dikelola petinggi-petinggi SI seperti Tjokroaminoto, Agus Salim dan Sjahboeddin Latif. Sebelum Bendera Islam, SI punya Oetoesan Hindia. Dan Fadjar Asia tidak hanya mencakup Hindia  Belanda, tetapi menjangkau mancanegara: London, Den Haag, Moskow, Mesir, India dan Tiongkok. Dari sini saya berpikir, memang benar, dalam perjuangan, media itu penting.

Di media itu Kartosuwiryo pernah menulis artikel yang memikat banyak orang.  Judulnya “Orang Lampoeng Boekan Monjet, Tetapi Ialah Manoesia Belaka!” Isinya tentang para petani kecil di Lampung yang terusir di tanah miliknya oleh kapitalis Asing. Begitulah Kartosuwiryo. Tulisannya galak dan dinanti-nanti pembaca. Dalam sebuah pidato, Kartosuwiryo tidak melulu bicara Islam dan Nasionalisme. Dia juga menyuarakan perihal irigasi dan kepemilikan lahan. Soal pengairan yang kotor dan telah membunuh 90 orang di Cianjur, dia juga menggugat lahan penduduk yang diserobot.

Di bagian akhir novel ini, digambarkan bagaimana strategi perjuangan Kartosuwiryo yang akhirnya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949.  Yaitu dengan strategi perang gerilya. Diceritakan oleh Kartosuwiryo bagaimana gerilyawan-gerilyawan Spanyol mengalahkan tentara Napoleon. Gerilyawan Tiongkok Utama mengusir Jepang. Dalam perang Boer di Afrika Selatan dapat mengimbangi tentara Inggris yang 30 kali lipat besarnya. Juga diingkatkan bagaimana zaman Rasulullah, Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandak, Perang Yarmuk, di mana pasukan muslimin dengan pasukan yang sedikit saja mampu mengalahkan serdadu kafir yang lebih banyak jumlahnya.

Namun, entah bagaimana, perjuangan itu akhirnya berakhir. Saat kondisi terjepit, salah seorang asistennya memberikan batu akik kepadanya dan bilang “Pak, ini ada batu cincin bagus untuk Bapak. Titipan dari orang kampung waktu saya turun ke desa. Katanya kalau pakai cincin ini terus ditembak, pelurunya berhenti”

“Hem begitu” Kata Kartosuwiryo lalu menyuruh aistennya mengambil palu.  Begitu menerima palu, Kartosuwiryo menghantam batu cincin itu. Ternyata batu itu hancur berkeping-keping “Lihat, bagaimana batu ini bisa menyelamatkan hidup saya dari peluru, kalau dia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari hantaman palu”   Tak usah dijelaskan apa artinya, kita paham prinsip Tauhid begitu dipegang Kartosuwiryo.

Di saat kondisi terjepit itu pula Kartosuwiyo tetap melanjutkan perjuangan. Tapi, dia memberikan tawaran kepada para pengikutnya “Para Ikhwan semua, keadaan sekarang ini sudah sangat menyulitkan kita. Saya tidak ingin menambah penderitaan kalian lagi. Jika di antara kalian yang ingin menyerah silakan saja, kembalilah bertani di Kampung”

Dan, saya terkejut di bagian terakhir ini. Saya tebak pidato itu hanya untuk menguji pengikutnya untuk tetap setia dalam perjuangan. Tapi apa yang terjadi? Penulis menyebut, salah satu petinggi DI/TII yang ternyata memilih menyerah adalah “DANU MOHAMMAD HASAN” tak lain tak bukan ayah Hilmi Aminudin,  mantan Ketua Dewan Syuro PKS.  Saya buka nama itu di Google, saya menemukan artikel di Eramuslim.com, tokoh ini yang kemudian direkrut BIN Ali Moertopo, musuh gerakan Islam itu. Sosok Hilmi Aminudin sendiri kemudian punya anak emas bernama Anis Matta. Mantan Presiden PKS  yang saat ini “Nyempal” dan “keluar” dari jamaah PKS. Mendirikan Partai Gelora. Entahlah, apakah bau-bau penyusupan ada di sini? Saya tak akan berpanjang lebar.

Endingnya, Kartosuwiryo harus dihukum mati oleh teman satu kosnya yaitu Soekarno.  Dia didakwa dengan 3 hal: Berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno. Begitu akhir ceritanya. Yang pasti, saya sangat puas membaca novel ini dengan tuntas. Tak mengecewakan.

Saya membayangkan bagaimana penulis melakukan riset  untuk penulisan novel ini. Sangat melelahkan pasti ya? Saya juga setuju dengan para komentator yang mengatakan novell ini begitu filmis.  Lewat novel ini, saya pribadi sangat  menikmati bagaimana Kartosuwiryo digambarkan.  Walaupun tentu setiap pembaca punya kesan berbeda-beda terhadap suatu karya.

(Yons Achmad. Penikmat novel sejarah)

No comment for Kartosuwiryo: Pejuang Islam yang Terlupakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *