Setiap tanggal 17 Juli, mengingatkan kita dengan seorang tokoh penting bangsa dan negara kita, Pak Mohammad Natsir. Pak Natsir adalah sosok da’i, pendidik, politisi, penulis, dan negarawan sejati yang dimiliki oleh Indonesia. Bahkan pada era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono 2008 silam, pendiri Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Hal itu sangat wajar, sebab pengorbanan dan perjuangan beliau bagi bangsa dan negara ini sangat luar biasa dan tak bisa dianggap remeh.
Pak Natsir sendiri lahir pada 17 Juli 1908 di Sumatra Barat dan meninggal pada 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun lebih. Hari ini, Ahad 17 Juli 2022, Pak Natsir genap 114 tahun. Mengenang Pak Natsir tentu bukan untuk mengkultuskan sosok yang dikenal bijak, murah senyum dan akrab dengan semua kalangan ini. Tapi yang utama adalah untuk meneladani perjuangan beliau pada medan dakwah: pendidikan dan politik, kala beliau masih hidup hingga wafat pada 29 tahun lalu.
Bila menelisik Pak Natsir, paling tidak ada beberapa hal yang perlu kita teladani. Pertama, da’i teladan. Pak Natsir adalah sosok da’i teladan: cerdas pikirannya dan soleh perilakunya. Beliau berguru kepada para sosok penting pada lapak sejarah bangsa ini. Mereka adalah KH. Agus Salim, KH. Ahmad Sukarti, Ustadz Ahmad Hasan, dan sebagainya. Sehingga seluruh perjalanan hidupnya selalu dibingkai oleh prinsip dan nilai-nilai luhur dakwah Islam seperti juga dilakoni oleh para gurunya. Tidak heran bila siapapun merasa nyaman bila berkenalan dan berkomunikasi dengannya. Beliau pun bukan saja da’i teladan, tapi juga da’i yang dirindukan.
Kedua, pendidik hebat. Pak Natsir bukan saja da’i tapi juga pendidik hebat. Sejak kecil beliau sudah akrab dengan dunia pendidikan. Baik pendidikan Ayahnya maupun para gurunya. Sehingga beliau pun semakin tertarik dalam dunia pendidikan. Menurut beliau, pendidikan merupakan kunci penting maju atau mundurnya umat Islam. Sebagai mayoritas, umat Islam sangat menentukan maju atau mundurnya bangsa dan negara kita Indonesia. Tidak heran bila beliau memberi perhatian serius pada tenaga pendidikan dan lembaga pendidikan. Bahkan tak sedikit para tokoh penting negeri ini yang mengaku sebagai murid Pak Natsir. Karena memang mereka pernah dididik atau menjadi “murid” dari sosok yang pandai menulis dan jago dalam beragam bahasa ini.
Ketiga, negarawan sejati. Siapapun bakal mengingat siapa sosok yang terkenal dengan “Mosi Integral”-nya ini. Ya, mosi ini merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatu kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah kesatuan yang digagas oleh Pak Natsir yang kemudian kelak menjadi sebuah keputusan parlemen pada 3 April 1950. Setelah melalui perdebatan panjang di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) akhirnya Mosi ini diterima secara bulat. Bahkan Perdana Menteri Mohammad Hatta kala itu menegaskan akan menggunakan “Mosi Integral” sebagai pedoman dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara.
Pada Ahad 17 Juli 2022 pada pukul 20.00 WIB hingga selesai, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir mengadakan webinar yang bertajuk “114 Tahun Mohammad Natsir; Reaktualisasi Pemikiran dan Perjuangan”. Pada forum yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting dan dihadiri oleh ratusan peserta dari seluruh Indonesia ini beberapa tokoh didaulat untuk menyampaikan kenangan dan mengulas pemikiran juga keteladanan Pak Natsir. Diantaranya adalah Dr. Adian Husaini (Ketua Umum DDII), KH. Ahmad Kholil Ridwan (Pembina DDII), dan beberapa tokoh lainnya.
Pada sambutannya Dr. Adian Husaini bercerita seputar pertemuan terakhir beliau dengan Pak Husein Umar, sehari sebelum meninggal. Bang Husein, ungkap Dr. Adian Husaini, sempat memintanya untuk membaca berkali-kali salah satu buku karya Pak Natsir yang berjudul “Islam Sebagai Dasar Negara”. Buku itu berisi pidato Pak Natsir di Majelis Konstituante. Rupanya, permintaan Pak Husein Umar kala itu seperti wasiat terakhirnya kepada Dr. Adian Husaini. Sebab sehari setelahnya Pak Husein Umar meninggal dunia.
Menurut Dr. Adian Husaini, diantara isi buku tersebut, pertama, mengulas tentang kelemahan sekularisme. Sebuah paham yang kala itu disebarkan oleh berbagai kalangan dan menghadap-hadapkan dengan Islam. Uniknya, sebagai da’i dan tokoh penting, menghadang paham tersebut dengan cara yang cerdas dan elegan. Beliau menjelaskan apa itu sekularisme dan segala keburukan juga kelemahannya. “Beliau bukan sekadar menulis, tapi juga memberi contoh bagaimana menanggulangi paham tersebut”, ungkap Dr. Adian Husaini.
Kedua, tentang kebangkitan sebuah bangsa. Bagi Pak Natsir, pendidikan merupakan elemen penentu bangkitnya sebuah bangsa. Karena itu beliau sendiri turun tangan untuk memajukan pendidikan Indonesia. Bukan saja mengambil bagian dalam mendirikan berbagai lembaga pendidikan tapi juga melakukan kaderisasi untuk para pendidik atau guru. Bahkan beliau juga aktif melakukan pembinaan untuk para da’i yang akan dikirim ke berbagai penjuru Nusantara sebagai pendidik bagi masyarakat yang masih membutuhkan penguatan iman dan sebagainya.
Menurut Dr. Adian Husaini, Pak Natsir pernah menjadi sekretaris panitia pendirian perguruan tinggi Islam di Indonesia, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogjakarta, yang berdiri 8 Juli 1945. Kala itu Ketuanya adalah Mohammad Hatta. Bahkan KH. Ahmad Kholil Ridwan pada sambutannya mengaku, Pak Natsir sangat berjasa untuk mengirimkan kaum pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. “Pak Natsir adalah satu dari 10 orang yang paling berjasa dalam hidup saya. Beliau mengirim banyak anak-anak muda Indonesia untuk menempuh pendidikan di luar negeri”, ungkap alumni Gontor ini.
Ketiga, hal lain yang kerap disampaikan oleh Pak Natsir di berbagai forum adalah bahaya penyakit hati: cinta dunia. Tentu saja penyakit ini beriringan dengan penyakit lain seperti iri, dengki dan mencari-cari kesalahan orang lain. Mengenai hal ini bisa dibaca dalam buku “Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antar Generasi”. Pada buku tersebut Pak Natsir menyinggung tentang penyakit yang paling berbahaya bagi umat Islam tersebut. Dalam pandangan Pak Natsir, ungkap Dr. Adian Husaini, penyakit tersebut mesti dijauhi, sebab ia mengeraskan hati dan menghalangi kemajuan dakwah.
Ya, mesti diakui bahwa Pak Natsir adalah sosok yang sederhana namun memiliki pemikiran jenial dalam seluruh lapak perjuangan umat Islam dan bangsa ini. Beliau sosok yang membuktikan bahwa pedagang bisa menjadi penulis, politisi muslim dapat menjadi da’i, pendidik mampu menjadi pemimpin, dan orang kampung mampu berkontribusi pada dinamika global internasional. Sungguh, Pak Natsir berjasa besar bagi umat Islam dan bangsa Indonesia bahkan dunia internasional. Baik dalam bidang dakwah dan pendidikan maupun dalam konteks dinamika politik nasional dan global. Tugas kita saat ini dan ke depan adalah meneladani sekaligus melanjutkan perjuangannya. Semoga Allah selalu membimbing dan memberkahi seluruh langkah kita! (*)
Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
No comment for Melanjutkan Perjuangan Mohammad Natsir