Indiva Media Kreasi adalah penerbit yang cukup intens mengadakan lomba kepenulisan, baik berupa cerpen, puisi, resensi, novel, maupun naskah buku nonfiksi. Pada tahun 2019, penerbit yang berkantor pusat di Solo ini mengadakan Kompetisi Menulis Indiva dengan cabang lomba novel anak, novel remaja, serta cerita pendek anak. Khusus untuk kategori novel remaja, pemenangnya adalah S. Gegge Mappangewa dengan karya berjudul Hikayat Dua Ayah (terbit dengan judul: Ayah, Aku Rindu), Nicco Machi dengan karya berjudul Misteri Perempuan di Lapangan Tenis (terbit dengan judul: Perempuan Misterius), dan Dian Dahlia dengan karya berjudul Petualangan Tiga Hari (terbit tanpa perubahan judul). Pada kesempatan ini, saya akan mencoba menyoroti masing-masing novel yang menyabet Juara I, II, dan III Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 kategori Novel Remaja melalui uraian sebagai berikut.
Sinopsis
Ayah, Aku Rindu yang dinobatkan sebagai Juara I Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 kategori Novel Remaja, mengambil setting tempat di Allakkuang, sebuah kampung di antara Kabupaten Sidenreng Rappang dan Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Ceritanya tentang Rudi, siswa kelas XII SMA, yang tinggal bersama ayah-ibunya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pengusaha ayam petelur. Masalah muncul ketika terjadi wabah virus flu burung. Semua ayam milik orang tua Rudi mati. Orang tua Rudi bangkrut, punya utang ratusan juta rupiah.
Tidak cukup sampai di situ, seminggu setelah ayam ternak mati secara serentak, ibu Rudi meninggal dunia. Kejadian ini jadi pukulan berat buat Rudi dan ayahnya. Ayah Rudi secara drastis berubah menjadi pendiam, pemurung, suka marah-marah, dan malah kemudian mengalami gangguan kejiwaan. Dia tidak mengenali Rudi lagi, bahkan beberapa kali mencoba membunuh anak semata wayangnya.
Di sinilah terjadi kegoncangan jiwa Rudi. Dia yang belum move on dari keterpurukan pasca ditinggal ibu, terpaksa harus menerima keadaan ayah yang tidak stabil. Beruntung ada Pak Sadli, guru Rudi di SMA, yang turut menjadi penopang jiwa Rudi, meski jelas tidak bisa 100%. Bersama Pak Sadli inilah, satu persatu rahasia dalam keluarga Rudi terkuak, mulai misteri sosok Pak Ramli, ayah Pak Sadli, yang dibenci setengah mati oleh ibunya Rudi, tentang alasan kenapa ayah ingin membunuh Rudi, dan hubungan tak terduga yang dimiliki Rudi dengan Pak Sadli.
Sedangkan Perempuan Misterius karya Nicco Machi yang menyabet Juara II Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 kategori Novel Remaja, menceritakan tentang Iska, seorang gadis kelas XI SMA yang sejak kecil menggandrungi olahraga tenis lapangan. Dia ikut klub dan ekstrakurikuler tenis, sering mewakili sekolah dalam berbagai pertandingan tenis. Meski bakat dan keterampilan Iska dalam olahraga tenis lapangan sangat menonjol, tapi ayahnya kurang mendukung. Iska diizinkan mengikuti klub dan ekstrakurikuler tenis, tapi tidak boleh meniti karir menjadi petenis profesional alias menjadi atlet dengan alasan yang Iska sendiri tidak tahu.
Suatu ketika, ayah Iska yang bekerja sebagai PNS, dipindahtugaskan dari Jakarta ke salah satu kota kecil di Jawa Timur. Di tempat tinggal dan sekolah baru ini, Iska sempat kesulitan mencari lapangan untuk berlatih tenis. Sampai kemudian, dia bertemu Mimi dan Ganesh, dua sahabat baru, yang menunjukkan sebuah lapangan tenis yang bisa disewa untuk latihan. Dimulai dari lapangan tenis inilah satu persatu keanehan atau misteri menghampiri kehidupan Iska. Mulai dari kehadiran Tante Rina, perempuan pemurung dan jauh dari kesan ramah yang suka menguntit Iska ke mana pun dia pergi. Kemudian pertemuan Iska dengan dr. Norman Jupiter, dokter hewan sekaligus selebgram terkenal dan aktivis penyelamatan satwa, yang kelihatannya ramah dan terbuka, tapi sesungguhnya memiliki watak serba jungkir balik. Lalu intimidasi yang dialami keluarga Mimi, dan usaha penculikan serta pembunuhan Iska.
Terakhir, Petualangan Ketiga Hari yang menggondol Juara III Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 kategori Novel Remaja, mengambil setting tempat di Pallawa Lipu, sebuah kampung laut di Selat Makassar, Bontang, Kalimantan Timur. Berdasarkan keterangan pengarang di halaman 3, Pallawa Lipu adalah sebuah kampung imajinatif alias tidak ada dalam kehidupan nyata. Berbeda dengan Ayah, Aku Rindu dan Perempuan Misterius, tokoh Petualangan Tiga Hari adalah pelajar SD kelas VI. Namanya Mukhlis. Anaknya pemberani, gigih, sedikit badung, tapi bertanggung jawab. Dia tinggal bersama keluarga besarnya di sebuah rumah panggung di atas laut. Kegiatan sehari-harinya selain sekolah dan main adalah membantu orang tuanya menjemur rumput laut.
Suatu ketika, tanpa sengaja, Mukhlis terbawa naik kapal ke tanah seberang. Dan di tanah seberang inilah dia terlibat berbagai persoalan pelik, mulai dari kasus penculikan, eksploitasi anak, dan human trafficking. Dalam belitan persoalan itu, Mukhlis bertemu Rifki, pelajar kelas VII SMP, yang bisa dikatakan sebagai antitetis dari Mukhlis, karena kepribadiannya mandiri, disiplin, serba teratur
dan terencana, rajin belajar, dan giat menekuni ekstrakurikuler PMR. Ada juga tokoh Alif, yang kebanyakan kali membuat gemas dalam arti negatif. Sebab, tokoh satu ini letoy, sering tidak berdaya, tidak berani ambil risiko, dan penuh pertimbangan yang berlarut-larut. Walaupun sebetulnya, kasihan juga.
Kelebihan
Ayah, Aku Rindu diramu dengan bahasa yang apik, cenderung nyastra. Kalau menurut Afifah Afra, Ketua Umum Forum Lingkar Pena, dalam novel ini, S. Gegge Mappangewa menggunakan bahasa yang menari (sila cek https://s.id/weSfC). Saya pribadi sepakat. Tapi, mungkin lebih tepat jika dikatakan, pengarang menggunakan bahasa yang menari di atas gunting, karena ceritanya yang melankolis dan menyayat-nyayat perasaan, khas seperti karya S. Gegge Mappangewa lainnya, seperti Sajak Rindu (Indiva Media Kreasi, 2016), Sabda Luka (Indiva Media Kreasi, 2018), dan Sayat-Sayat Sunyi (Indiva Media Kreasi, 2019).
Sama seperti ketiga novel tersebut, Ayah, Aku Rindu juga mengangkat isu tentang fatherless atau minimnya peran ayah dalam mendampingi pertumbuhan jiwa seorang anak laki- laki. Kalau menurut Kongres Ayah Sedunia Tahun 2017, Indonesia itu menduduki ranking III fatherless country. Artinya, di Indonesia, ayah hadir, tapi lebih berperan sebagai ayah biologis, bukan ayah psikologis, atau ayah spiritual, karena pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Ayah dianggap (atau menganggap diri) cukup berperan mencari nafkah saja. Misalnya, Vito, tokoh novel Sajak Rindu dan Sabda Luka mengalami kegersangan jiwa karena dia tumbuh di masa pergolakan remaja tanpa tempaan mental dari ayahnya, sebab ayah- ibunya bercerai karena persoalan perbedaan agama. Lalu, Kamaruddin, tokoh novel Sabda Luka, yang kemudian bertransformasi menjadi calabai atau waria dalam tradisi masyarakat Bugis, ayahnya ada, tinggal satu rumah, tapi terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, sehingga urusan mendidik anak diserahkan 100% kepada ibu.
Selain isu fatherless, tidak ketinggalan juga ada muatan lokalitas Bugis yang kental dalam novel ini, sama seperti karya fiksi S. Gegge Mappangewa lainnya. Dalam Ayah, Aku Rindu, nilai lokalitas Bugis tampak di antaranya lewat sisipan dongeng kebijaksanaan Nenek Mallomo, seni pahat batu, kuliner, dan sebagainya Kelebihan lainnya, novel ini memiliki banyak bahasa yang quotable, misalnya, di halaman 47, ada kata-kata seperti ini, “Di rumah ini banyak cinta. Tak usah mencari cinta di luar.”
Lalu, di halaman 22, “Bagiku, jatuh cinta itu perlu, tapi untuk memainkannya, sepertinya buku pelajaranku masih butuh belaian lembut tanganku sebagai pelajar.” Dan banyak quoteme narik lainnya yang terlalu panjang jika disitir di sini. Selanjutnya, saya uraikan kelebihan novel Perempuan Misterius. Kelebihan novel ini adalah tidak ada satu pun detail cerita yang tidak berguna. Tidak ada satu pun tokoh yang tidak punya fungsi. Semuanya memiliki peran dan sidik jari dalam bangunan cerita yang dibuat Nicco Machi.
Dalam hal ini, mungkin boleh dikatakan, pengarang Perempuan Misterius sangat efektif dan efisien, tidak suka memubazirkan kata atau tokoh. Sebab semuanya bermanfaat dan bersambungan satu sama lain. Kelebihan lainnya, Nicco Machi pandai sekali menaik-turunkan suspense cerita. Jadi tegangan ceritanya tidak berbentuk seperti gunung, melainkan seperti pegunungan. Asyik sekali.
Mencambuk rasa penasaran pembaca untuk mendaras cerita secara terus-menerus. Isu-isu yang diangkat dalam novel ini antara lain tentang olahraga tenis lapangan dan bagaimana lika-liku seorang muslimah berjilbab dalam menekuninya. Kemudian isu tentang keutuhan keluarga, isu ekologi—dalam hal ini mengenai animal abuse dan penyelamatan satwa, kuliner, dan problematika remaja ketika terserang virus merah jambu.
Berikutnya adalah novel Petualangan Tiga Hari. Kelebihan novel ini selain alur ceritanya yang menggerogoti rasa penasaran pembaca, adalah kandungan nilai-nilai motivasi di dalamnya, seperti motivasi untuk tidak mudah menyerah, berani mengubah nasib, kepahlawanan, optimisme, semangat untuk maju, penuh ide dan gagasan, dan sikap mandiri. Kalau membaca Ayah, Aku Rindu kita jadi terbawa suasana sendu, melankolis, sedangkan membaca Perempuan Misterius kita jadi terpacu terus-menerus untuk bertanya-tanya: apa lagi nih? Apa lagi nih? Kalau dalam Petualangan Tiga Hari kita bisa tertawa-tawa, karena kelakuan anak-anak praremaja yang pethakilan dan rasa ingin tahunya besar. Kekurangan Tak ada gading yang tak retak. Pepatah ini senantiasa berlaku, tak terkecuali untuk ketiga novel pemenang Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 kategori Novel Remaja.
Ganjalan yang saya temukan dalam novel Ayah, Aku Rindu terutama soal penggunaan kata ganti orang pertama. Dalam novel ini, pengarang menggunakan kata saya dan aku sekaligus, simak misalnya dalam kalimat berikut ini, “Saya hanya tertunduk. Entah hingga berapa kalimat bahkan paragraf yang Pak Sadli nasihatkan untukku, saya tetap memilih tunduk. Bukan takluk. Kalau pun sesekali saya mengangkat wajah, saya tak pernah berani menatap ke wajah Pak Sadli, kecuali ke arah jarinya yang bercicincin sisik naga.” (halaman 111).
Saya pribadi kurang nyaman dengan penggunaan kata ganti saya dan aku yang merata di sekujur novel, dari awal sampai akhir. Barangkali, akan lebih pas, jika pengarang menentukan salah satu kata ganti saja. Namun, pengarang sendiri berargumen, “… tentang pencampuran saya dan aku dalam novel Ayah, Aku Rindu ini. Itu bukan tanpa sengaja loh, juga bukan karena saya nggak paham bahwa aku dan saya nggak boleh dipertemukan dalam satu kalimat. Saya menulis saya nggak pernah bersamaan dengan kata aku. Yang ada adalah, saya dan klitik –ku. “Misalnya, ‘Saya yakin maksudnya untuk menghibur tapi malah melukaiku (bukan: melukai aku).’ ‘Rupanya saya dari tadi meninggalkan kelas dengan mengikuti lamunanku (bukan: lamunan aku).’
“Mengapa saya menulis seperti itu, karena saya menganggap ini style-ku di Ayah, Aku Rindu ini, meskipun melanggar pakem. Intinya, saya konsisten menggunakan klitik –ku, bukan aku.” (https://s.id/weZgT). Sedangkan dalam Perempuan Misterius, ada dua ganjalan kecil yang rasakan. Pertama, soal penggunaan ungkapan kambing hitam untuk pemain berkualitas yang kepiawaiannya
bermain tenis belum tampak di mata publik (halaman 18). Mungkin, ungkapan yang lebih tepat adalah kuda hitam. Kedua, soal perubahan penampilan Mimi, sahabat kental Iska yang tiba-tiba berjilbab (halaman 236), kendati di halaman 63-66 ada dialog antara Iska—Mimi mengenai jilbab.
Terakhir, untuk novel Petualangan Tiga Hari, tidak ada ganjalan berarti, kecuali sekadar bertanya-tanya mengenai perihal beberapa kalimat yang dicetak tebal, tanpa kejelasan berarti. Misalnya di halaman 11, “Ah, andai saja ia mampu berenang hingga bisa melintasi perairan dan dapat mencapai daratan di seberang sana.”
Kesimpulan
Di Indonesia, persoalan kesehatan mental memang masih kerap dipandang sebelah mata. Alih-alih beroleh pertolongan atau minimal empati, rupa-rupa label justru kerap disematkan kepada penderita gangguan kesehatan mental, seperti lemah atau malah kurang iman (periksa https://s.id/AVifY). Parahnya, tidak jarang pula yang membuang keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, sehingga sengaja dibiarkan menggelandang di jalanan. Atau ada juga yang memasungnya dengan alasan ‘keamanan’. Kaitannya dengan hal tersebut, novel Ayah, Aku Rindu dapat menjadi alternatif bacaan guna mengasah kepedulian sosial dan menumbuhkan empati terhadap mental health issue. Di samping itu, novel ini secara halus mengajak pembaca remaja untuk lebih peduli dan sadar menyikapi masalah fatherless.
Sedangkan novel Perempuan Misterius, sebagai bacaan yang bernuansa cerita detektif, dapat mempengaruhi pembaca untuk lebih cermat dan teliti, kritis, serta tidak mudah reaktif dalam menyikapi kehidupan nyata yang tidak jarang justru lebih aneh dari cerita fiksi. Seperti kita ketahui dan rasakan bersama, belakangan sering beredar berita hoaks dan fitnah—mengenai apapun. Pribadi yang terbiasa membaca karya bernuansa detektif akan terasah untuk mencermati petunjuk tersurat maupun tersirat dalam cerita atau berita, sehingga tidak langsung menelan bulat-bulat apapun yang berseliweran di depannya. Dengan demikian, bisa lebih selamat dan menyelamatkan.
Terakhir, novel Petualangan Tiga Hari, mungkin, dapatlah saya samakan seperti Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain. Di dalamnya terkandung dorongan bagi praremaja dan remaja untuk lebih gigih mengatasi keterbatasan keadaan: bahwa di dalam tubuh kita, tersimpan kekuatan untuk menaklukkan tantangan—apapun ragam bentuknya. Ketiga Pemenang Kompetisi Menulis Indiva Tahun 2019 ini merupakan bacaan ringan sekaligus berbobot, gampang dicerna namun memiliki substansi positif. Ketiganya cocok dibaca pembaca remaja, tentu saja dengan tetap mengedepankan rasa kritis.
Thomas Utomo adalah mahasiswa Pendidikan Profesi Guru Universitas PGRI Semarang. Sehari-hari bekerja sebagai guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga, Jawa Tengah selain menjadi penulis serabutan di sejumlah media cetak dan daring. Tulisan-tulisan yang dihasilkan antara lain berupa artikel, catatan perjalanan, cerpen, esai, novel, novelet, dan resensi. Dapat dihubungi via nomor 085802460851 atau surel utomothomas@gmail.com.
Saat masih sekolah, guru sejarah saya selalu menampilan sosok Kartosuwiryo sebagai pemberontak dan pengkhianat NKRI. Tapi, tidak demikian dalam gambaran seorang penulis, Haris Priyatna... Read More