HOME
Home » Opini » Mosi Integral dan Keteladanan Mohammad Natsir

Mosi Integral dan Keteladanan Mohammad Natsir

Posted at April 4th, 2022 | Categorised in Opini

“Mosi Integral” merupakan sebuah hasil keputusan parlemen mengenai bersatu kembalinya sistem pemerintahan Indonesia dalam sebuah kesatuan yang digagas oleh Pak Mohammad Natsir (Pak Natsir) yang kemudian kelak menjadi sebuah keputusan parlemen pada 3 April 1950. Setelah melalui perdebatan panjang di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) akhirnya Mosi ini diterima secara bulat. Bahkan Perdana Menteri Mohammad Hatta kala itu menegaskan akan menggunakan “Mosi Integral” sebagai pedoman dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara.

Pada Ahad 3 April 2022 Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) mengadakan acara penting yaitu “Tasyakur Mosi Integral NKRI 03 April 1950” yang diadakan melalui Zoom Meeting. Ada tiga tokoh nasional yang didaulat menjadi narasumber kali ini yaitu Prof. Dr. Mahfud MD (Menko Polhukam), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tatanegara), Dr. Adian Husaini, M.Si. (Ketua Umum DDII). Sementara itu, ada 500-an lebih peserta yang hadir mengikuti acara ini secara langsung melalui Zoom Meeting, di samping ribuan peserta lainnya yang menyaksikan melalui YouTube dan media sosial lainnya.

Prof. Mahfud menyampaikan dua hal penting yang melekat pada Pak Natsir, pertama, Pak Natsir adalah tokoh penting Indonesia. Beliau adalah perekat diantara keragaman pemikiran dan pola perjuangan para tokoh baik pada saat pra maupun pasca kemerdekaan. “Pak Natsir adalah pemikir, pejuang, pemimpin dan pahlawan nasional. Beliau adalah perekat suci atau ‘mistaqon gholizon’ bangsa ini sehingga menjadi bangsa yang bersatu dalam wadah negara kesatuan”, ungkapnya.

Menurutnya, Pak Natsir mampu menghadirkan dinamika yang konstruktif di tengah keragaman pemikiran para tokoh bangsa kala itu. Perbedaan pendapat tentang dasar negara, misalnya, Pak Natsir berbeda dengan Soekarno. Tarik menarik gagasan dan konsep negara dan dasarnya pun menjadi oase yang menghiasai sejarah perjalanan bangsa. Pada akhirnya negara kita pun tidak memilih sebagai negara sekuler dan tidak memilih sebagai negara agama. Walau demikian, negara menjamin setiap warga negara untuk memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya dengan baik dalam bingkai negara kesatuan dan dasar Pancasila.

Kedua, Pak Natsir adalah inspirasi terbaik umat Islam di Indonesia yang telah melakukan mobilitas vertikal dalam struktur pemerintahan. Sehingga sejak itulah para tokoh muslim mulai memberanikan diri untuk tampil di ruang publik dan memimpin di berbagai lembaga pemerintahan. Satu prestasi dan keteladanan yang sangat berharga bagi generasi selanjutnya. “Meneladani Pak Natsir, umat Islam secara pelan-pelan masuk dan naik ke level vertikal pemerintahan, termasuk menjadi pejabat di berbagai sektor atau lembaga. Sehingga sudah saatnya bagi kita untuk percaya diri dan tidak boleh tamu di negeri kita sendiri”, lanjut tokoh asli Madura-Jawa Timur tersebut.

Adapun dalam pandangan Prof. Yusril, pelajaran penting dari perjalanan hidup Pak Natsir, diantaranya, pertama, perjuangan itu butuh pengorbanan ide, pemikiran, tanaga, harta, air mata, bahkan darah dan nyawa. Menurutnya, Pak Natsir merupakan sosok teladan yang multi talenta. Beliau bukan saja pemimpin umat tapi juga pemimpin politik bahkan pemimpin negara. Sehingga beliau bukan saja sukses memimpin Masyumi tapi juga sukses melaksanakan tugas sebagai Menteri dan Perdana Menteri kala itu.

Kedua, perjuangan Pak Natsir adalah perjuangan ide dan pemikiran yang kokoh. Dalam konteks politik kebangsaan dan kenegaraan, peranan beliau sudah tidak bisa diragukan lagi. Menurut tokoh asli Bangka Belitung ini, salah satu gagasan penting tokoh asal Sumatra Barat ini adalah “Mosi Integral”. Sehingga berbagai “negara kecil” yang kala itu “berserak” diajak kembali pada satu fatsun kolektif kebangsaan yaitu bersatu dalam satu negara. “Mosi Integral Pak Natsir merupakan strategi politik di tengah kondisi bangsa yang menghadapi berbagai ujian”, ungkapnya.

Sementara itu, Dr. Adian menyampaikan bahwa, pertama, lakon Pak Natsir dalam berjuang baik melalui jalur politik dan dakwah adalah sebuah keteladanan berharga bagi kita saat ini dan ke depan. Menurutnya, aset terbesar yang Pak Natsir wariskan kepada generasi penerusnya adalah pemikirannya yang kokoh, perjuangannya yang tulus, dan akhlaknya yang mulia. “Beliau memiliki integritas, sehingga sangat disegani oleh kawan dan lawan”, ungkapnya.

Kedua, Pak Natsir menjadi model tokoh yang sukses menjadi perekat berbagai keragaman pemikiran dan pandangan politik pada eranya.
Dulu Pak Natsir dan para pemimpin berbeda dalam banyak hal, namun basisnya adalah ketajaman ide atau gagasan. Pak Natsir seperti juga para tokoh lainnya, memiliki kemampuan komunikasi dan diplomasi yang sangat telaten, dan punya sikap ilmiah yang kuat. Tapi mereka dewasa dan berani menerima perbedaan pendapat dan sikap politik. Mereka adalah negarawan sejati, bukan sekadar politisi perebut kekuasaan. “Mereka memiliki tradisi dialog ilmiah yang sangat tajam dan kuat,” lanjut penulis buku “Wajah Peradaban Barat” (2005) ini.

Secara khusus saya mencatat bahwa selain sukses menjalankan peran sebagai pemimpin umat dan bangsa bahkan kelak pada 2008 oleh pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditetapkan menjadi pahlawan nasional, Pak Natsir juga sukses menjadi dai dan penulis handal. Warisan terbaik beliau adalah DDII yang kini menyebar ke berbagai pelosok Indonesia. Buku-buku karya beliau pun dibaca dan dikaji di berbagai tempat bahkan di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan sebagainya.

Dalam konteks gagasan “Mosi Integral” yang dicetuskan oleh Pak Natsir, saya mengusulkan dua hal penting kepada pemerintah dan DDII seperti yang sudah sampaikan kepada para narasumber dan diamini oleh Prof. Yusril pada momentum tanya-jawab acara 90 menit tadi. Pertama, pemerintah perlu menetapkan tanggal 3 April sebagai Hari Persatuan Indonesia atau Hari Integrasi Nasional. Bukan sekadar untuk menghormati dan mengenang gagasan Pak Natsir, tapi juga untuk membangun kesadaran kolektif elemen bangsa tentang sejarah bangsa dan negaranya.

Kedua, DDII perlu membentuk tim khusus yang mengkaji dan menyampaikan usulan resmi kepada negara atau pemerintah agar poin pertama menjadi perhatian dan diwujudkan oleh pemerintah. Secara teknis, mungkin perlu diadakan berbagai agenda pendalaman atas gagasan “Mosi Integral” tersebut dari berbagai aspeknya. Sehingga pemikiran beliau bukan saja menjadi diskursus kalangan tertentu, tapi menjadi diskursus masyarakat luas. Bukan pada “ramai” atau tidaknya, tapi pada substansi gagasannya.

Pak Natsir tidak seketika menjadi teladan dalam banyak aspek, sebab beliau meraihnya dengan menempuh proses belajar dalam waktu yang panjang. Beliau juga sejatinya mendapatkan anugerah “hikmah” dari Allah, sehingga mampu memahami sesuatu secara mendalam dan jernih, bahkan menjadi sosok berintegritas. Tertibnya struktur gagasan sekaligus percakapan intelektual Pak Natsir dan kawan-kawan pada pra dan pasca kemerdekaan menandakan tingginya peradaban para pendahulu kita. Lakon semacam itu patut kita perdalam dan tiru dengan baik demi kelanjutan peradaban Indonesia yang lebih maslahat dan maju di masa mendatang. (*)

Syamsudin Kadir
Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat

1 Komentar for Mosi Integral dan Keteladanan Mohammad Natsir

  • Mohammad Iskandar berkata:

    Saya tidak mengikuti webinarnya ataupun melihat postingannya di youtube. Komentar ini sepenuhnya berdasarkan naskah “laporan” Redaktur. Perlu ditekankan di sini bahwa pada 3 April 1950 Mohammad Natsir (Fraksi Masyumi) menyampaikan pidatonya pada sidang Parlemen RIS, sebagai pertanggung jawabannya terhadap tugas yang diberikan Perdana Menteri Moh. Hatta, untuk “menyelidiki” Apakah keinginan masyarakat itu ingin bergabung ke dalam negara RI (salah satu negara bagian RIS) atau membentuk negara kesatuan. Permasalah itu muncul setelah muncul resolusi dari DPRD Malang yang ingin melepaskan dari dari negara Jawa Timur dan bergadung ke dalam negara bagian RI. Kemudia pada 30 Januari giliran DPRD Sukabumi yang mengajukan resolusi untuk keluar dasi negara Pasundan dan bergabung ke dalam negara bagian RI. Setelah itu muncul dari beberapa negara bagis lainnya yang mengajukan resolusi senada. Dalam situasi seperti itu Mohammad Natsir menyampaikan pendapatnya bahwa yang menjadi pokok permasalahan adalah pembentukan negara kesatuan, bukan penggabungan negara-negara bagian RIS ke dalam negara bagian Republik Indonesia. Kemudia Perdana Menteri Hatta menugaskannya bersama Sri Sultan HB IX untuk menjajaki dan melobi ke daerah daerah, dengan tujuan agar krisis pemerintahan cepat teratasi. Hasil kerja itu disampaikan pada sidang Parlemen RIS pada 3 April 1950. Setelah ditanggapi kemudian pada hari itu juga “lapiran” Itu disepakati untuk membentuk NKRI. Pidato 3 April itu kemudian dikenal dengan nama Mosi Natsir atau mosi integral Natsir.
    Bertolak dari mosi integral Natsir itulah berlangsunglah konferensi antar pihak RIS dan RI yang menghasiljan “Piagam Persetujuan” antara RIS dan RI yang ditandatangani pada 19 Mei 1950. Setelah proses pembentukan NKRI berjalan sampai pada 15 Agustus 1950 secara resmi DPR dan Senat RIS serta Badan Pekerja RI ditutup dan diganti dengan DPR NKRI. Pada 17 Agustus 1950 secara resmi Presiden Soekarno menyampaikan perihal pembubaran RIS dann “kembali” Ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai catatan, dokumen tentang proses ini tersedia di ANRI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *