Ulama besar, Yusuf Al-Qardhawi dalam “Fatwa-Fatwa Kontemporer”, menukil pernyataan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia.” Tentu ini sebuah pernyataan yang menarik.
Berdasar pernyataan demikian, bisa diartikan, memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Semua itu karena memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan). Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah Islam memandang politik. Setidaknya, itulah hal umum yang dipahami oleh politisi muslim dengan pemahaman yang lurus.
Hanya saja, kalau kita lihat wajah politik kita, jujur kita katakan tak seindah yang dibayangkan. Wajah umum yang tampak di depan mata adalah wajah politik yang saling “bantai”. Elit-elit politik begitu bernafsu untuk selalu berkuasa (the will to power). Misalnya, sekali jadi presiden, dia ingin sekali lagi menjabat. Sekali lolos menjadi anggota dewan, terus selalu ingin berkuasa dan menjadi anggota lagi di periode berikutnya. Hasrat besar yang meluap-luap adalah hasrat untuk menguasai yang lain (the will to dominate the other). Caranya? Dari yang wajar dan biasa-biasa saja, sampai mengunakan cara-cara yang tak beradab. Politik uang, kebohongan, kelicikan, manipulasi data, korupsi dan seterusnya. Wajah ini menciptakan idiom baru, politik itu kotor.
Padahal politik itu aslinya mulia. Tentu kalau berada ditangan orang-orang mulia. Itu sebabnya, menciptakan pemimpin politik yang mulia menjadi agenda penting. Tak peduli sesibuk apapun seseorang dalam mengurus bisnis atau karir pribadi. Kalau abai dalam urusan politik dan kepemimpinan ini, jelas bakal tampak wajah suram kehidupan kewarganegaraan kita dalam keseharian ke depan. Sebab, kebijakan-kebijakan politik, kebijakan-kebijakan publik strategis, orang-orang inilah yang menentukan ke mana arahnya. Itu sebabnya, imaji politik kebangsaan, perlu diarahkan, selaras dengan awal mula Indonesia didesain sebagai negara dengan paham kebangsaan modern (modern nation state) yang melahirkan peradaban modern (modern civilization). Politik yang sehat, birokrasi yang efisien, peradilan yang otonom, akuntablitas publik, bebas korupsi, warga negara yang rasional dan beradab.
Terkait kemuliaan demikian, politisi dan negarawan muslim tampaknya masih ada yang kurang percaya diri membawa spirit KeIslaman. Di sisi lain. Alih-alih merangkul, lebih banyak warga negara muslim hanya sekadar menjadi komoditas politik. Sementara, politik kemudian hanya dimaknai sekadar “Siapa mendapat apa” (who gets what). Padahal, melampaui itu, dalam kehidupan berkebangsaan, kita mengenal istilah allocative politics. Di mana, politik alokatif ini oleh beberapa pemikir diartikulasikan dengan mensubstansikan nilai-nilai dan etika keIslaman di tengah pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik nilai yang membawa kehidupan warga menjadi lebih baik (the better life) dan tentu saja kebahagiaan sejati (the persuit of true happiness).
Spirit di atas, bagi sebagian politisi muslim mungkin tampak begitu normatif. Yang terbentang di hadapan, bagaimana meraup suara sebanyak mungkin. Politik gagasan. Mungkin ditinggalkan. Yang dihadirkan sekadar politik transaksional untuk sebuah suara coblosan. Akhirnya, dunia politik menjadi sedemikian pragmatis. Inilah tantangan bagi politisi muslim. Spirit juang, mestinya tetap berbasis nilai, gagasan, bukan sekadar politik transaksional. Lagi-lagi, komentar miring mungkin masih muncul “Ah normatif”. Tapi, hanya dengan basis gagasan, nilai dan prinsip-prinsip politik Islam yang lurus, maka politik bakal menemukan makna yang sebenarnya, wajah politik yang mulia, melahirkan keberadaban, kesejahteraan, kemakmuran, keberpihakan, keadilan dan seterusnya, bukan sebaliknya. []
(Yons Achmad. Kolumnis, tinggal di Depok).
No comment for Politik Nilai Politisi Muslim