HOME
Home » Kolom » Saat Muslim Memandang Sesajen

Saat Muslim Memandang Sesajen

Posted at Januari 12th, 2022 | Categorised in Kolom

Sesajen bukan ajaran Islam. Ini keyakinan saya sebagai seorang muslim. Walaupun, saat saya kecil, sesajen itu masih marak dikalangan orang Islam. Di lereng Gunung Merapi Magelang. Sampai saat ini, ritual sesajen juga masih ditemukan, walau saya kira tak sesemarak dulu. Hal ini, tentu saja berkat pemahaman keIslaman masyarakat yang semakin baik.  Dakwah Tauhid yang sudah menyentuh masyarakat yang dulunya bau “Kejawen” masih kental. KTP memang Islam, tapi salat dan ritual Islam tak dijalankan. Sementara, tradisi nenek moyang yang masih dipegang.

Sesajen sendiri, barangkali bagi sebagian orang masih dijalankan. Di Bali misalnya, ketika agama dan budaya menyatu dalam kehidupan keseharian, sesajen tentu saja masih ada.  Sependek pemahaman saya, sesajen dilakukan sebagai sebentuk laku spiritual. Semacam cara berkomunikasi dengan Tuhan. Apapun keyakinannya, fakta bahwa sesajen itu masih ada, masih berlaku dalam kehidupan keseharian. Tapi, kalau di zaman sekarang, bagi seorang muslim, ketika akses akan pencerahan dan dakwah Islam bisa begitu mudah didapatkan kemudian masih juga percaya sesajen, melakukan ritual sesajen, tentu sangat ironis.

Sementara, di media sosial, marak video viral seseorang yang menendang, menyepak sesajen. Tepatnya, konon di lokasi erupsi  Gunung Semeru.  Dalam video yang beredar terdengar pria  berbicara seraya membuang sesajen yang ditemukan. Menyebut sesajen yang ada di sana, menghadirkan azab bagi masyarakat setempat. Dalam pandangannya, inilah yang membuat murka Allah hingga Allah menurunkan azabnya. Maka, beragam komentar netizen (warganet) pun bermunculan.

Dari sekian banyak komentar, saya tertarik komentar seorang ulama. Salah satunya, dari Kiai NU sekaligus salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, beliau menyesalkan aksi membuang sesajen. Dikatakan bahwa sesajen itu bisa karena keyakinan, bisa karena budaya. Tapi, apapun alasannya, tak dibenarkan merendahkan keyakinan atau  budaya orang lain. Dikatakan pula, dakwah harusnya dengan hikmah, bukan menginjak dan merendahkan.

Saya tentu diposisi tidak kontra terhadap pendapat itu. Hanya, kalau bicara konteks dalam pembacaan peta kekinian umat, pendapat demikian juga kurang bijak. Satu kesan yang muncul adalah langsung menyalahkan. Sebuah kecenderungan yang kurang elok. Terutama, memang sering terjadi pada ulama-ulama yang dekat dengan kekuasaan. Biasanya, galak sekali terhadap sesama muslim, tapi sangat begitu ramah terhadap non muslim bahkan ketika melakukan kesalahan fatal sekalipun. Seperti menghina Allah, Rasul dan ajaran Islam.

Itu semua, bisa jadi karena banyak ulama yang mengejar label ulama moderat, toleran, punya penghargaan terhadap kebudayaan. Tapi, apa gunanya label artifisal (dibuat-buat) begitu ketika harus dibayar dengan tidak tegas dalam berpendapat sesuai ajaran Islam yang diyakininya? Termasuk dalam soal sesajen ini. Dalam persoalan agama, saya kira, pada akhirnya kita harus mengikuti pendapat-pendapat ahli ilmu yang lurus,  mereka yang tak menghamba apalagi menjilat penguasa hanya demi posisi duniawi dan sematan label tertentu. []

(Yons Achmad. Kolumnis. Tinggal di Depok).

No comment for Saat Muslim Memandang Sesajen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *