Sayap-Sayap Keromantisan
Oleh: Yons Achmad
(Penulis, tinggal di Depok)
“Sayang, belajar apa yang paling kamu suka?”
Dia masih agak lama mikir
Dikira ini pertanyaan peradaban
“Bismillah, belajar Al-Quran dan mengamalkannya,” katanya mantap.
“Bagus. Kalau aku belajar mencintaimu setulusnya.”
“Ayaaaaah.”
*
Sebuah nasyid berdendang…
Aisyah, romantisnya cintamu dengan Nabi
Dengan baginda kau pernah main lari-lari
Selalu bersama
Hingga ujung nyawa kau di samping Rasulullah
Aisyah, sungguh manis, oh, sirah kasih cintamu
Bukan persis novel mula benci jadi rindu
Kau istri tercinta, ya Aisyah Khumaira
Di dalam rumah tangga, seperti rumah tangga nabi, keromantisan selalu hadir dan dihadirkan. Menjadikan pernikahan nabi penuh dengan kisah-kisah indah. Memang juga ada cerita sendu, seperti cemburu. Tapi, justru itulah satu potret kehidupan keluarga nabi yang manusiawi.
Begitu juga, sebagai pengikut nabi, sayap-sayap keromantisan keluarga tetap perlu menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian. Dimulai dari hal-hal sederhana. Duduk bersama, saling bercerita. Jalan sore bersama yang tercinta, sambil bicarakan masa depan keluarga dan anak-anak.
Keromantisan, tentu bukan bercumbu di depan umum seperti dalam film-film. Tapi, sebuah wajah keromantisan dalam keluarga seperti digambarkan dalam sebuah hadist. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah merahmati seorang lelaki yang bangun pada malam hari, lalu ia shalat dan membangunkan istrinya. Jika istrinya menolak, ia memercikkan air pada wajahnya. Allah merahmati seorang perempuan yang bangun pada malam hari, lalu ia shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya menolak, ia memercikkan air pada wajahnya.” (HR. Abu Daud).
Keromantisan. Kurang lebih, semacam itu gambarannya. Keromantisan dalam rangka ibadah, bukan yang lain. Ibadah yang sifatnya pribadi, seperti shalat, zikir dan murojaah bersama. Juga, ibadah sosial seperti sedekah dan wakaf. Sungguh sebuah keromantisan tersendiri apabila sepasang suami istri bisa punya pemikiran, pandangan hidup serta amal yang sama. Semua hal dalam dalam kehidupan semuanya diniatkan sebagai ibadah. Dalam rangka bekal untuk diri, juga berkontribusi buat sesama. Sebuah harapan yang indah, tapi perlu dikomunikasikan dan diusahakan bersama. Teori yang sederhana, tak gampang menjalankannya.
Apalagi, sejak pandemi Covid-19 datang. Banyak para ayah yang kehilangan pekerjaan. Keluarga banyak yang goncang. Keromantisan menjadi hambar ketika kebutuhan rumah tangga tak tercukupi dengan selayaknya. Lelucon-lelucon menjadi garing. Inilah sebuah tantangan tersendri. Bagaimana menghadirkan keromantisan agar tetap ada dan terus menyala. Itu sebabnya, figur ayah menjadi penting sebagai nahkoda keluarga.
Bayangkan kalau seorang ayah hanya fokus mencari nafkah keluarga saja. Ketika nafkah hilang, maka hilang pula martabat seorang ayah. Tapi, ketika ayah benar-benar menjadi nahkoda, selalu bertanggungjawab pada pendidikan istri dan anak-anaknya. Seorang ayah selalu hadir, maka itulah yang bakal menyelamatkan keutuhan saat dilanda badai yang datang secara tiba-tiba. Seorang sosok ayah yang tetap tenang, tidak lari dari kenyataan, tapi tetap ada di rumah membersamai istri dan anak-anaknya dalam naungan Al-Quran dan Keimanan.
Layaknya badai, tak permanen. Pasti mereda dan kemudian hilang. Dan, kehidupan bakal kembali seperti semula. Di situlah sebenarnya ujian keromantisan menemukan makna sebenarnya, bukan sebuah gimmick semata. Di saat susah, ibadah tak pernah lengah, sedekah juga tak ketinggalan. Meskipun hanya dengan secangkir teh di Jumat berkah.
Satu hal yang pasti, sayap-sayap keromantisan tetap bakal bisa hadir dan menyala ketika pondasi keimanan memang kokoh. Sehingga, tak mudah goncang oleh badai yang datang. Hanya saja, iman memang terkadang naik dan turun, al-imaanu yaziidu wa yanqusu, yaziidu bi-thaah wa yanqusu bil-ma’shiah (iman bisa bertambah dan juga bisa berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan berbuat maksiat. Lantas, bagaimana semestinya agar iman dan keromantisan bisa sejalan?
Layaknya rumah tangga, konflik selalu ada. Tapi ketika masing-masing pasangan punya iman yang kokoh sebagai pondasi kehidupan, maka jalan keluar pastilah selalu ada. Selebihnya, masing-masing pasangan juga sepertinya perlu membangun komunikasi agar tetap harmonis, menerapkan mu’asyaroh bil ma’ruf (berkomunikasi yang baik), saling memahami, menghargai, dan berempati menjadi kunci dalam interaksi. Bismillah, dengan begini bakal lahir keluarga yang harmonis, yang menjadi salah satu ciri keluarga sakinah. Keluarga model inilah yang kelak bakal melahirkan generasi-generasi yang shalih dan shalihah. Insyaallah. []
No comment for Sayap-Sayap Keromantisan