“Ayah, kalau ada relasi antara ketakwaan dan kekayaan, kenapa para ustaz itu hidupnya banyak yang sederhana saja?” tanya istri saya. Pertanyaan yang sulit. Dia selalu begitu, pertanyaan-pertanyaan sering muncul, di luar perkiraan. Yang memaksa saya terus belajar dan belajar lagi.
Tapi, lagi-lagi saya percaya sulit itu kategori bisa. Pasti ada jawabannya. Tapi, kali ini, biarkan masalah ini menjadi pertanyaan yang akan dijawab oleh mereka yang punya ilmu mumpuni. Saya, kali ini hanya ingin berefleksi saja menurut kemampuan diri sendiri. Tentu, mengandalkan mindset profetik, mindset kenabian. Artinya, sedapat mungkin punya dasar referensi, bukan semata mengandalkan akal semata.
Kita mulai buka pelan ayat Al-Qur’an, surat At-Talaq ayat 2-3. Ada penggalan ayat yang kurang lebih begini artinya “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan ke luar baginya…Dan Dia memberi rezeki yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)”. Ayat yang dahsyat. Pertanyaan menariknya, sudahkah, atau sejauhmana ketakwaan kita?
Ini refleksi menariknya. Dalam ayat itu jelas, sudah ada garansi dari Allah. Kita akan mendapatkan kemudahan hidup dan kekayaan (materi) kalau kita bertakwa. Sesuatu yang sering kita kejar di dunia ini. Masalahnya, kenapa banyak orang yang tidak mendapatkan, bahkan seringkali semuanya itu sulit sekali? Sementara, arti takwa yang umum, menjalankan perintah, menjauhi larangan. Artinya, ibadahnya oke dan bisa jauhi dosa. Sampai di sini, memang kita harus tahu diri.
Dalam sebuah referensi, saya mendapatkan perkataan yang cukup bagus dari Imam Al-Ghazali. Dikatakan bahwa yang mudah dan ringan itu dosa, yang sulit dan berat itu amanah, yang dekat itu kematian dan yang cepat itu waktu. Begitulah, dosa begitu mudah dilakukan manusia. Barangkali, di sinilah letak masalahnya. Kita merasa sudah bertakwa padahal belum, sementara dosa-dosa dan maksiat terus dikerjakan. Sadar atau tidak sadar.
Memang, relasi antara takwa dan kaya ini problematis. Saya tersentil pandangan ustaz bergelar Lc lulusan Al-Azhar. Ketika ditanya, apakah ketakwaan berbanding lurus dengan kekayaan? Jawabnya jelas, TIDAK.
Argumennya, kekayaan pemberian Allah, dan kekurangan atau kemiskinan yang dialami seseorang juga atas kehendak Allah juga. Semua itu tidak ada kaitannya dengan tingkat ketakwaan atau tingkat kemaksiatan seseorang. Kadang kemiskinan atau kekurangan yang Allah kehendaki terjadi pada diri seseorang, justru merupakan bukti ketakwaannya. Sebab kadang Allah menguji orang yang beriman dengan ujian kemiskinan.
Tapi, kalau boleh jujur. Tentu semua muslim akan memilih ya takwa tapi kaya. Bukankah tidak ada orang yang mau memilih hidup miskin? Itu sebabnya, bolehlah pertanyaannya kita ubah, bagaimana caranya agar kita bertakwa tapi sekaligus juga kaya?
Allah sendiri sudah menjamin, kalau bertakwa akan ada jalan ke luar, termasuk mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka. Fokus saja ke sini. Walau ada syaratnya, jangan buat dosa, jangan maksiat. Itu saja. Lagi-lagi konsepnya mudah dipahami. Tapi perlu usaha keras menjalani. Yakin saja, Allah tidak pernah ingkar janji. Tentu dibarengi dengan usaha yang serius pula. []
(Yons Achmad/adabimagz.com)
No comment for Takwa Tapi Kaya